Selasa, 08 Mei 2012

Hub Antara Serat Muskuler Dengan Keempukan Daging


Kontribusi Jaringan Ikat
Kontribusi jaringan ikat pada kekerasan daging juga sangat penting seperti pada jaringan muskuler. Kandungan, kualitas dan penyebaran jaringan ikat dalam otot merupakan penanggungjawab utama terhadap perbedaan kekerasan antar otot. Beberapa peneliti menemukan korelasi antara daya putus dengan kandungan kolagen pada otot Longissimus dorsi dan Semitendinosus yang cukup rendah. Kandungan kolagen daging sapi bervariasi, tergantung pada jenis otot dan umur ternak, variasi ini sangat besar pada otot empuk dan ternak umur muda yang mana 48-66% dapat menjelaskan variasi keempukan daging (Abustam, 2004).Otot merupakan jaringan yang mempunyai struktur dan fungsi utama  sebagai penggerak. Ciri suatu otot mempunyai hubungan yang erat dengan fungsinya. Karena fungsinya, maka jumlah jaringan ikat berbeda-beda dintara jaringan otot. Jaringan ikat ini berhubungan dengan kealotan daging (Soeparno, 2005).
Pada kekerasan daging juga sangat penting seperti pada jaringan muskuler. Kandungan, kualitas dan penyebaran jaringan ikat dalam otot merupakan penanggungjawab utama terhadap perbedaan kekerasan antar otot. Beberapa peneliti menemukan korelasi antara daya putus dengan kandungan kolagen pada otot Longissimus dorsi dan Semitendinosus yang cukup rendah. Kandungan kolagen daging sapi bervariasi, tergantung pada jenis otot dan umur ternak, variasi ini sangat besar pada otot empuk dan ternak umur muda yang mana 48-66% dapat menjelaskan variasi keempukan daging (Abustam, 2004).Otot merupakan jaringan yang mempunyai struktur dan fungsi utama  sebagai penggerak. Ciri suatu otot mempunyai hubungan yang erat dengan fungsinya. Karena fungsinya, maka jumlah jaringan ikat berbeda-beda dintara jaringan otot. Jaringan ikat ini berhubungan dengan kealotan daging (Soeparno, 2005).
Pengaruh Umur Terhadap Keempukan
Dapat disimpulkan secara umum, bahwa keempukan menurun dengan bertambahnya umur . Namun demikian perbaikan pakan (pemberian pakan enersi tinggi) pada ternak sapi perah afkir sebelum penyembelihan untuk memperbaiki kondisinya berdampak terhadap perbaikan keempukan, lebih empuk dari sapi yang berumur muda dengan kondisi puberitas. Perbaikan kualitas kolagen melalui terbentuknya kolagen baru (neo kolagen) yang ditandai dengan sifat kolagen tersebut kembali seperti pada kolagen anak sapi (sapi muda) yakni ikatan silang yang labil terhadap panas, dapat menjelaskan fenomena tersebut.
Struktur otot
          Struktur otot terdiri atas serat muskuler dan jaringan ikat, dimana variabilitas tipe serat yangterjadi pada ternak yang sama dari jenis otot yang berbeda atau pada otot yang sama dari jenisternak yang berbeda khususnya pada spesies yang berbeda pada umumnya disebabkan olehkedua komponen penyusun otot tersebut.Variasi kualitas, khususnya keempukan pada otot pascamati ternak sangat ditentukan olehkedua komponen utama penyusun otot : konsistensi jaringan muskuler dan sifat-sifat fisik dankimia jaringan ikat.
        Abustam (2004), bahwa keempukan daging ditentukan oleh sifat-sifat myofibril dan jaringan ikat sebagai komponen utama pada otot. Keempukan daging bervariasi antar otot. Jumlah jaringan ikat dalam otot mempengaruhi tekstur daging. Otot yang lebih banyak bergerak selama hewan masih hidup teksturnya terlihat lebih kasar sedangkan otot yang kurang bergerak teksturnya terlihat lebih halus. Hal ini disebabkan adanya perbedaan dalam jaringan ikat yang ikut berperan dalam aktivitas otot. Otot yang teksturnya kasar, kurang empuk dibandingkan dengan otot yang teksturnya halus. Jaringan ikat otot terdiri dari epimisium yang terdapat di sekeliling otot; perimisium terletak diantara fasikuli, dan endomisium yang terdapat disekeliling sel otot atau serabut otot. Setiap jaringan ikat terdiri dari serabut-serabut kolagen. Endomisium mengelilingi membran sel (sarkolema). Serabut-serabut kolagen endomisium sangat kecil dan sering disebut serabut retikular (Soeparno, 2005). Lebih lanjut dikatakan oleh Lawrie (2003) sifat tenunan pengikat berbeda pada tiap umur ternak. Derajat ikatan silang intra dan intramuskuler antara rantai-rantai polipeptida dalam kolagen meningkat dengan meningkatnya umur hewan. Pada hewan-hewan muda hampir semua ikatan silang (dapat direduksi , labil terhadap panas dan asam), meningkat sampai umur dua tahun, kemudian secara perlahan diganti oleh ikatan-ikatan yang stabil terhadap panas. Ciri suatu otot mempunyai hubungan yang erat dengan fungsinya. Karena fungsinya, maka jumlah jaringan ikat berbeda-beda diantara jaringan otot. Jaringan ikat ini berhubungan dengan kealotan daging. Perbedaan keempukan berdasarkan daya putus daging dari 3 jenis otot yang berbeda 
         Jenis otot yang berbeda juga memperlihatkan tingkat keempukan yang berbeda. Hal ini dilihat dari jenis otot yang empuk berturut-turut seperti longissimus dorsi, semitendinosus dan pectoralis profundus. Adanya perbedaan keempukan disebabkan karena kadar kolagen yang berbeda. Banyaknya kolagen dari ternak disebabkan oleh umur yang tua, jaringan ikat silang yang banyak dan banyaknya pergerakan otot sewaktu ternak masih hidup. Hal ini sesuai dengan pendapat Lawrie (2003) yang menyatakan bahwa serabut kolagen merupakan komponene yang terpenting dan menentukan empuk tidaknya daging. Bila seekor ternak menjadi lebih tua, kolagennya bertambah banyak dan jaringan ikat yang bersilang lebih banyak, sehingga daging menjadi tidak empuk. Hal ini juga dikatakan oleh Winarno (1995) yang menyatakan bahwa yang mempengaruhi keempukan daging, antara lain komposisi daging yaitu berupa tenunan pengikat, serabut daging serta sel-sel lemak yang ada diantara serabut daging. Disamping itu keempukan daging dipengaruhi oleh kondisi rigormortis yang terjadi setelah ternak dipotong.
           Lokasi otot juga sangat berpengaruh pada keempukan daging. Kemungkinan lain yang menyebabkan otot longissimus dorsi lebih empuk daripada semitendinosus dan pectoralis profundus karena pada otot longissimus dorsi berada pada bagian tulang belakang sehingga kemungkinan untuk melakukan aktivitas jarang, tidak sama dengan otot semitendinosus atau otot pectoralis profundus yang hampir setiap saat mengalami aktivitas karena menahan berat badannya pada waktu berdiri dan berjalan, sehingga dengan seringnya otot melakukan aktivitas dapat menyebabkan jaringan ikat pada otot menebal dan menjadi lebih keras. Penyebaran kolagen tidak sama diantara otot kerangka tubuh, umumnya disesuaikan dengan kegiatan fisik sehingga berpengaruh terhadap keempukan daging. Keempukan dan kekerasan daging tergantung pada derajat kontraksi aktin dan miosin setelah hewan mati selama rigormortis akibat terbentuknya aktimiosin (Lawrie, 2003).
Kandungan Kolagen
Kandungan kolagen dengan indeks kekerasan daging yang diukur menggunakan Warner Bratzler shear force.. Kopp dan Bonnet (1982) memperlihatkan koefisien korelasi antara daya putus dengan kandungan kolagen pada daging mentah yang telah mengalami maturasi sebesar + 0,87. Beberapa peneliti menemukan korelasi antara daya putus dengan kandungan kolagen pada otot Longissimus dorsi danSemitendinosus yang cukup rendah (Reagan dkk., 1976 ; Jeremiah dan Martin, 1981). Sorensen (1981) mengemukakan bahwa kandungan dan solubilitas kolagen hanya dapat menjelaskan variasi keempukan sebesar 15 - 20 % pada otot Longissimus dorsi dan Semitendinosus dari ternak dengan genotipe dan umur yang sama. Abustam (1987) memperlihatkan bahwa kandungan kolagen daging sapi bervariasi, tergantung pada jenis otot dan umur ternak, variasi ini sangat besar pada otot empuk dan ternak umur muda yang mana 48 - 66 % dapat menjelaskan variasi keempukan daging. Semakin tinggi kadar kolagen, semakin rendah suhu awal kontraksi dan semakin penting tegangan maksimal (maximal tension) selama pemanasan daging. Menurut Dransfield (1977) bahwa kadar kolagen nampaknya merupakan penduga yang baik bagi kekerasan daging mentah jika perbandingan dilakukan pada otot-otot yang berbeda dari umur yang sama. Sebaliknya pengukuran kadar kolagen nampaknya kurang sensitif jika perbandingan dilakukan pada otot yang sama yang berasal dari ternak yang berbeda. Kadar kolagen bukanlah faktor tersendiri dalam menjelaskan variasi kekerasan jaringan ikat.
Hubungan antara sifat-sifat jaringan ikat dengan kekerasan daging
            Kontribusi jaringan ikat pada kekerasan daging juga sangat penting seperti pada jaringan muskuler. Kandungan, kualitas dan penyebaran jaringan ikat dalam otot merupakan penanggung jawab utama terhadap perbedaan kekerasan antar otot (Boccard dkk., 1967).
Jaringan ikat
        Variasi indeks rata-rata kekerasan otot dapat dijelaskan melalui karakter otot yang berhubungan dengan bentuk otot, karakter dimensional dan morphologie kelompok berkas serat utama dari perimisum, dan perbedaan-perbedaan karakter mikroskopik seperti repartisi dan penyebaran jaringan ikat serta jumlah saluran darah ke otot. Barbu (1977) menunjukkan bahwa indeks kekerasan otot berhubungan dengan karakteristik berkas jaringan ikat, densitas rata-rata miosken (kelompok berkas serat utama) yang dilakukan pada dua sumbu utama pada otot (lebar dan tebal), dan karakteristik perimisium. Densitas linier dari berkas perimisium berpengaruh secara langsung pada keempukan daging (Dumont, 1983 ; Abustam, 1984). Beberapa karakter morpho-anatomik dari berkas perimisium dapat dipertimbangkan seperti, jumlah berkas serat utama dengan ukuran kecil, homogenitas, dan kehalusan (tipis) dari berkas perimisium kedua, dalam menilai variasi kadar kolagen dan kekerasannya (Abustam, 1984). Densitas linier dari berkas perimisium dan jumlah berkas serat utama bervariasi tergantung pada jenis otot. Terjadi penurunan densitas linier dengan meningkatnya umur ternak yang dapat dijelaskan melalui peningkatan luas permukaan rata-rata dari berkas serat utama. Densitas linier berkas perimisium hanya dapat menjelaskan sebesar 29 % dari variasi resistensi mekanik daging mentah. Dengan menggabungkan antara densitas linier dan kadar kolagen, keduanya dapat menjelaskan 55 % variasi kekerasan daging (Abustam, 1987).
         Kondisi pemasakan Suhu dan lama pemasakan memegang peranan penting pada perubahan komponen jaringan ikat pada daging. Otot dengan potensi keempukan yang tinggi memerlukan suhu pemasakan dan waktu pemasakan yang cepat. Sebaliknya pada otot yang dalam keadaan mentah memperlihatkan kekerasan yang berarti memerlukn waktu pemasakan yang cukup lama. Berdasarkan atas sifat kolagen yang membutuhkan suhu untuk mengalami gelatinisasi pada suhu 80°C, perlu menjadi pertimbangan penerapannya, dengan waktu pemasakan yang cukup lama, minimal diatas satu jam. Pemasakan yang melampaui batas optimal pada daging empuk akan menyebabkan terjadinya pengerasan, pemasakan berlanjut setelah batas optimal tersebut akan mengakibatkan pengempukan yang diharapkan. Dengan demikian padanan antara suhu dan lama pemasakan yang digunakan harus disesuaikan dengan potensi keempukan dari otot tersebut. Berdasarkan metode pemasakan ini maka dikenal pemasakan lambat dan pemasakan cepat.

Pengawetan Telur

        Telur adalah produk peternakan mengandung nilai asam amino esensial yang dibutuhkan tubuh manusia. Kendati memiliki kandungan gizi tinggi, telur mudah rusak akibat bakteri, antara lain salmonella, bahan kimia dari imbah, dan benturan atau gesekan. Telur juga salah satu sumber protein hewani yang memilik rasa yang lezat, mudah dicerna, dan bergizi tinggi. Selain itu telur mudah diperoleh dan harganya murah. Telur dapat dimanfaatkan sebagai lauk, bahan pencampur berbagai makanan, tepung telur, obat, dan lain sebagainya. Telur terdiri dari protein 13 %, lemak 12 %, serta vitamin, dan mineral.
Umumnya telur akan mengalami kerusakan setelah disimpan lebih dari 2 minggu di ruang terbuka. Kerusakkan tersebut meliputi kerusakan yang nampak dari luar dan kerusakan yang baru dapat diketahui setelah telur pecah. Kerusakan pertama berupa kerusakan alami (pecah, retak). Kerusakan lain adalah akibat udara dalam isi telur keluar sehingga derajat keasaman naik. Sebab lain adalah karena keluarnya uap air dari dalam telur yang membuat berat telur turun serta putih telur encer sehingga kesegaran telur merosot. Kerusakan telur dapat pula disebabkan oleh masuknya mikroba ke dalam telur, yang terjadi ketika telur masih berada dalam tubuh induknya. Kerusakan telur terutama disebabkan oleh kotoran yang menempel pada kulit telur. Cara mengatasi dengan pencucian telur sebenarnya hanya akan mempercepat kerusakan. Jadi pada umumnya telur yang kotor akan lebih awet daripada yang telah dicuci. Penurunan mutu telur sangat dipengaruhi oleh suhu penyimpanan dan kelembaban ruang penyimpanan.
Untuk menjaga kesegaran dan mutu isi telur dengan jangka panjang, diperlukan teknik penanganan yang tepat agar nilai gizi telur tetap baik, yaitu dengan cara pengawetan. 

Adapun Macam-Macam Pengawetan Telur Yaitu :
1.      Minyak sayur atau lilin encer yang dioleskan pada telur, Pengawetan ini membuat telur sampai 2 bulan.
2.      Pengasinan, dengan cara memasukan cairan pengawetan garam mengunakan jarum suntik kedalam telur. Lubang kemudian ditutup dengan selotip atau lilin. Lalu direbus, tapi ini tahan 3 dan 4 hari.
3.      Merendam dalam campuran air dan garam selama lima hari samapai 10 hari. Telur dengan cara ini tahannya samapai seminggu.
4.      Bubur dari campuran tanah liat
5.      Bubuk batu bata.
6.       Abu gosok dan.
7.       Penurun suhu, yakni maksukan dalam lemari es pada suhu 5 derajatcelsius, ini buat telur tahan 30 hari.
Prinsip pengawetan telur adalah untuk :
    1. Mencegah masuknya bakteri pembusuk ke dalam telur.
    2. Mencegah keluarnya air dari dalam telur.
Kualitas telur ditentukan oleh :
    1. kualitas bagian dalam (kekentalan putih dan kuning telur, posisi kuning telur, dan ada tidaknya noda atau bintik darah pada putih atau kuning telur) dan
    2. kualitas bagian luar (bentuk dan warna kulit, permukaan telur, keutuhan, dan kebersihan kulit telur).
Beberapa proses pengawetan telur utuh yang diawetkan bersama kulitnya antara lain :
    1. proses pendinginan;
    2. proses pembungkusan kering;
    3. proses pelapisan dengan minyak;
    4. proses pencelupan dalam berbagai cairan.
Acar telur adalah telur masak yang dikuliti dan direndam dalam adonan bumbu (cuka, gula, cabai, dan merica). Sehingga awet dan siap dimakan. Biasa disimpan dalam botol selai atau stoples.
  1. BAHAN
    1. Telur ayam atau itik atau puyuh 18 butir
    2. Asam cuka 25 % 33 cc (6 sendok makan)
    3. Gula 400 gram
    4. Cabai 60 gram
    5. Merica hitam 60 gram
    6. Air secukupnya
  2. ALAT
    1. Panci
    2. Kompor
    3. Botol selai
    4. Baskom
  3. CARA PEMBUATAN
    1. Masak telur (ayam, itik, puyuh) pada suhu 80° ~ 85°C (selama ± 20 menit);
    2. Dinginkan (masukkan ke dalam air dingin) kemudian kupas;
    3. Buat larutan asam cuka (30 cc asam cuka dalam 1 liter air). Tambahkan 400 gram gula kemudian panaskan;
    4. Dalam keadaan panas tambahkan cabai dan merica hitam.
         Ambar turatminah, ketua kelompok candi P jaya yang memperoduksi telur asin rasa udang, mengatakan telur segar dengan mutu baik disimpan tidak lebih dari dua minggu. Bila disimpan lebih dari waktu itu, telur akan rusak. Kerusakan terjadi dikarenakan keluarnya gas`karbon dioksida dari telur sehingga menaikan derajat keasaman produk tersebut. Penyimpanan telur dalam waktu lama tanpa pengawetan dapat menyebaban penguapan sehingga bobot telur menurun dan putih telur menjadi encer.
Telur yang diawetkan dapat memperpanjang daya simpan menimal seminggu tanpa mengurangi nilai gizi di dalamnya. Memilih mengawetkan telur dengan mengunakan bubur dari campuran tanah liat, bubuk batu bata, abu gosok, dan garam dengan komposisi tertentu. Pengawet telur dapat dilakukan dengan penurun suhu, yakni maksukan dalam lemari es pada suhu 5 derajatcelsius, ini buat telur tahan 30 hari.
      Pengawetan lain dengan mengunakan minyak sayur atau lilin encer yang dioleskan pada telur. Pengawetan ini membuat telur sampai 2bulan. Telur juga dapat diawetkan dengan cara pengasinan, dengan cara memasukan cairan pengawetan garam mengunakan jarum suntik kedalam telur. Lubang kemudian ditutup dengan selotip atau lilin. Lalu direbus, tapi ini tahan 3 dan 4 hari. Cara pengasinan lainya adalah dengan merendam dalam campuran air dan garam selama lima hari samapai 10 hari. Telur dengan cara ini tahannya samapai seminggu.
        Nilai tertinggi telur terdapat pada bagian kuningnya. Kuning telur mengandung asam amino esensial yang dibutuhkan serta mineral seperti : besi, fosfor, sedikit kalsium, dan vitamin B kompleks. Sebagian protein (50%) dan semua lemak terdapat pada kuning telur. Adapun putih telur yang jumlahnya sekitar 60 % dari seluruh bulatan telur mengandung 5 jenis protein dan sedikit karbohidrat. Kelemahan telur yaitu memiliki sifat mudah rusak, baik kerusakan alami, kimiawi maupun kerusakan akibat serangan mikroorganisme melalui pori-pori telur. Oleh sebab itu usaha pengawetan sangat penting untuk mempertahankan kualitas telur.
         Telur akan lebih bermanfaat bila direbus setengah matang dari pada direbus matang atau dimakan mentah. Telur yang digoreng kering juga kurang baik, karena protein telur mengalami denaturasi/rusak, berarti mutu protein akan menurun. Macam-macam telur adalah : telur ayam (kampung dan ras), telur bebek, puyuh dan lain-lain.

Faktor" yang mempengaruhi Rigormortis


RIGOR MORTIS
Rigor mortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih diawali fase prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan terjadinya kekakuan pada otot. Pada saat kekakuan otot itulah disebut sebagai terbentuknya rigor mortis sering diterjemahkan dengan istilah kejang mayat. Ada tiga fase pada proses rigor mortis yakni fase prarigor, fase rigor mortis dan fase pascarigor.
Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis tergantung pada jumlah ATP yang tersedia pada saat ternak mati. Jumlah ATP yang tersedia terkait dengan jumlah glikogen yang tersedia pada saat menjelang ternak mati. Pada ternak yang mengalami kecapaian/kelelahan atau stress dan kurang istirahat menjelang disembelih akan mengjhasilkan persediaan ATP yang kurang sehingga proses rigor mortis akan berlangsung cepat. Demikian pula suhu yang tinggi pada saat ternak disembelih akan mempercepat habisnya ATP akibat perombakan oleh enzim ATPase sehingga rogor mortis akan berlangsung cepat.
ATP digunakan untuk memisahkan ikatan aktin dan myosin sehingga terjadi relaksasi otot. Namun karena pada saat kematian terjadi penurunan cadangan ATP maka ikatan antara aktin dan myosin akan menetap (menggumpal) dan terjadilah kekakuan jenazah. Rigor mortis akan mulai muncul 2 jam postmortem semakin bertambah hingga mencapai maksimal pada 12 jam postmortem. Kemudian setelah itu akan berangsur-angsur menghilang sesuai dengan kemunculannya. Pada 12 jam setelah kekakuan maksimal (24 jam postmortem) kaku jenazah sudah tidak ada lagi. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kaku jenazah adalah suhu tubuh, volume otot dan suhu lingkungan. Makin tinggi suhu tubuh makin cepat terjadi kaku jenazah.
Waktu yang singkat untuk terbentuknya rigor mortis mengakibatkan pH daging masih tinggi (diatas pH akhir daging yang normal) pada saat terbentuknya rigor mortis. Jika pH >5.5 – 5.8 pada saat rigor mortis terbentuk dengan waktu yang cepat dari keadaan normal maka kualitas daging yang akan dihasilkan menjadi rendah (warna merah gelap, kering dan strukturnya merapat) dan tidak bertahan lama dalam penyimpanan sekalipun pada suhu dingin.
Sesaat setelah ternak mati maka sisa-sisa glikogen dan khususnya ATP yang terbentuk menjelang ternak mati akan tetap digunakan untuk kontraksi otot sampai ATP habis sama sekali dan pada saat itu akan terbentuk rigormortis ditandai dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel lagi).
Produksi ATP dari glikogen melalui tiga jalur yakni:
1.      Glikolisis; perombakan glikogen menjadi asam laktat (produk akhir) atau melalui pembentukan terlebih dahulu asam piruvat (dalam keadaan aerob) kemudian menjadi asam laktat (anaerob). Pada kondisi ini akan terbentuk 3 mol ATP
2.      Siklus asam trikarboksilat (siklus krebs); sebagian asam piruvat hasil perombakan glikogen bersama produk degradasi protein dan lemak akan masuk kedalam siklus asam trikarboksilat yang menghasilkan CO2 dan atom H. Atom H kemudian masuk ke rantai transport elektron dalam mitochondria untuk menghasilkan H2O serta 30 mol ATP.
3.      Hasil glikolisis berupa atom H secara aerob via rantai transport elektron dalam mitochondria bersama dengan O2 dari suplai darah akan menghasilkan H2O dan 4 mol ATP.
Dengan demikian melalui tiga jalur ini glikogen otot pertama-tama dirubah menjadi glukosa mono fosfat kemudian dirombak menjadi CO2 dan H2O serta 37 mol ATP. Adenosin tri fosfat (ATP) akan digunakan sebagai sumber energi untuk kontraksi, memompa ion Ca2 pada saat relaksasi, dan mengatur laju keseimbangan Na dan K.
Perubahan Karakter Fisikokimia
·         Kekakuan (kejang mayat) yang terjadi pada saat terbentuknya rigor mortis mengakibatkan daging menjadi sangat alot dan disarnkan untuk tidak dikonsumsi. Kekakuan ini secara perlahan akan kembali menjadi ekstensibel akibat kerja sejumlah enzim pencerna protein diantaranya cathepsin (lihat proses maturasi).
·         Pemendekan otot dapat terjadi akibat otot yang masih prarigor (masih berkontraksi) didinginkan pada suhu mendekati titik nol. Kejadian ini disebut sebagai cold shortening dimana serat otot bisa memendek sampai 40% dan mengakibatkan otot tersebut menjadi alot dan kehilangan banyak cairan pada saat dimasak (lihat modul V). Pada saat prarigor, otot masih dibenarkan untuk dikonsumsi sekalipun tingkat keempukannya tidak sebaik jika dikonsumsi pada fase pascarigor. Ini dimungkinkan karena adanya enzim Ca+2 dependence protease (CaDP) atau calpain yang berperan sebagai enzim yang aktif bekerja mencerna protein jika ada ion Ca+2 Ion ini diperoleh pada saat reticulum sarkoplasmik dipompa pascakontraksi otot.
·         pH akhir otot menjadi asam akan terjadi setelah rigor mortis terbentuk secara sempurna. Tapi kebanyakan yang terjadi adalah rigor mortis sudah terbentuk tetapi pH otot masih diatas pH akhior yang normal (pH>5.5 – 5.8). pH akhir otot yang tinggi pada saat rigor mortis terbentuk memberikan sifat fungsional yang baik pada otot yang dibutuhkan dalam pengolahan daging (bakso, sosis, nugget). Demikian pula pada saat prarigor, dimana otot masih berkontraksi sangat baik digunakan dalam pengolahan.
·         Denaturasi protein miofibriler dapat terjadi pada pH otot dibawah titik isoelektrik mengakibatkan otot menjadi pucat, berair dan strukturnya longgar (mudah terurai). Hal ini bisa terjadi pada ternak babi atau ayam yang mengalami stress sangat berat menjelang disembelih dan akibatnya proses rigor mortis berlangsung sangat cepat; bisa beberapa menit pada ternak babi.
·         Warna daging menjadi merah cerah pada saat pH mencapai pH akhir normal (5.5 – 5.8) pada saat terbentuknya rigor mortis.
Faktor-faktor penyebab variasi waktu terbentuknya rigor mortis
Jangka waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bervariasi dan tergantung pada:
1.      Spesis; pada ternak babi waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis lebih singkat, beberapa jam malahan bisa beberapa menmeit pada kasus PSE (pale soft exudative) dibanding dengan pada sapi yang membutuhkan waktu 24 jam pada kondisi rigor mortis sempurna. Dikatakan sempurna jika rigor mortis terjadi selama 24 jam pada ternak dengan kondisi cukup istirahat dan full glikogen sebelum disembelih dan suhu ruangan sekitar 15°C.
2.      Individu; terdapat perbedaan waktu terbentuk rigor mortis pada individu berbeda dari jenis ternak yang sama. Sapi yang mengalami stress atau tidak cukup istirahat sebelum disembelih akan memebutuhkan waktu yang lebih cepat untuk instalasi rigor mortis dibanding dengan sapi yang cukup istirahat dan tidak stress pada saat menjelang disembelih.
3.      Macam serat; ada dua macam serat berdasarkan warena yang menyusun otot yakni serat merah dan serat putih. Rigor mortis terbentuk lebih cepat pada ternak yang tersusun oleh serat putih yang lebih banyak dibanding dengan serat merah. Pada otot dengan serat merah yang lebih banyak memperlihatkan pH awal lebih tinggi dengan aktivitas ATP ase yang lebih rendah. Aktivitas ATP ase yang lemah akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menghabiskan ATP. Dengan demikian pada otot merah membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terbentuknya rigor mortis.