RIGOR
MORTIS
Rigor mortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak
disembelih diawali fase prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan
diakhiri dengan terjadinya kekakuan pada otot. Pada saat kekakuan otot itulah
disebut sebagai terbentuknya rigor mortis sering diterjemahkan dengan istilah
kejang mayat. Ada tiga fase pada proses rigor mortis yakni fase prarigor, fase
rigor mortis dan fase pascarigor.
Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis
tergantung pada jumlah ATP yang tersedia pada saat ternak mati. Jumlah ATP yang
tersedia terkait dengan jumlah glikogen yang tersedia pada saat menjelang
ternak mati. Pada ternak yang mengalami kecapaian/kelelahan atau stress dan
kurang istirahat menjelang disembelih akan mengjhasilkan persediaan ATP yang
kurang sehingga proses rigor mortis akan berlangsung cepat. Demikian pula suhu
yang tinggi pada saat ternak disembelih akan mempercepat habisnya ATP akibat
perombakan oleh enzim ATPase sehingga rogor mortis akan berlangsung cepat.
ATP
digunakan untuk memisahkan ikatan aktin dan myosin sehingga terjadi relaksasi
otot. Namun karena pada saat kematian terjadi penurunan cadangan ATP maka
ikatan antara aktin dan myosin akan menetap (menggumpal) dan terjadilah
kekakuan jenazah. Rigor mortis akan mulai muncul 2 jam postmortem semakin bertambah
hingga mencapai maksimal pada 12 jam postmortem. Kemudian setelah itu akan
berangsur-angsur menghilang sesuai dengan kemunculannya. Pada 12 jam setelah
kekakuan maksimal (24 jam postmortem) kaku jenazah sudah tidak ada lagi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kaku jenazah adalah suhu tubuh,
volume otot dan suhu lingkungan. Makin tinggi suhu tubuh makin cepat terjadi
kaku jenazah.
Waktu yang singkat untuk terbentuknya rigor mortis
mengakibatkan pH daging masih tinggi (diatas pH akhir daging yang normal) pada
saat terbentuknya rigor mortis. Jika pH >5.5 – 5.8 pada saat rigor mortis
terbentuk dengan waktu yang cepat dari keadaan normal maka kualitas daging yang
akan dihasilkan menjadi rendah (warna merah gelap, kering dan strukturnya
merapat) dan tidak bertahan lama dalam penyimpanan sekalipun pada suhu dingin.
Sesaat setelah ternak mati maka sisa-sisa
glikogen dan khususnya ATP yang terbentuk menjelang ternak mati akan tetap
digunakan untuk kontraksi otot sampai ATP habis sama sekali dan pada saat itu
akan terbentuk rigormortis ditandai dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel
lagi).
Produksi ATP dari glikogen melalui tiga jalur yakni:
1. Glikolisis;
perombakan glikogen menjadi asam laktat (produk akhir) atau melalui pembentukan
terlebih dahulu asam piruvat (dalam keadaan aerob) kemudian menjadi asam laktat
(anaerob). Pada kondisi ini akan terbentuk 3 mol ATP
2. Siklus
asam trikarboksilat (siklus krebs); sebagian asam piruvat hasil perombakan
glikogen bersama produk degradasi protein dan lemak akan masuk kedalam siklus
asam trikarboksilat yang menghasilkan CO2 dan atom H. Atom H
kemudian masuk ke rantai transport elektron dalam mitochondria untuk
menghasilkan H2O serta 30 mol ATP.
3. Hasil
glikolisis berupa atom H secara aerob via rantai transport elektron dalam
mitochondria bersama dengan O2 dari suplai darah akan menghasilkan H2O
dan 4 mol ATP.
Dengan demikian melalui tiga jalur ini
glikogen otot pertama-tama dirubah menjadi glukosa mono fosfat kemudian
dirombak menjadi CO2 dan H2O serta 37 mol ATP. Adenosin
tri fosfat (ATP) akan digunakan sebagai sumber energi untuk kontraksi, memompa
ion Ca2 pada saat relaksasi, dan mengatur laju keseimbangan Na dan
K.
Perubahan Karakter Fisikokimia
·
Kekakuan (kejang mayat) yang terjadi pada saat terbentuknya rigor
mortis mengakibatkan daging menjadi sangat alot dan disarnkan untuk tidak
dikonsumsi. Kekakuan ini secara perlahan akan kembali menjadi ekstensibel
akibat kerja sejumlah enzim pencerna protein diantaranya cathepsin (lihat
proses maturasi).
·
Pemendekan otot dapat terjadi akibat otot yang masih
prarigor (masih berkontraksi) didinginkan pada suhu mendekati titik nol.
Kejadian ini disebut sebagai cold shortening dimana serat otot bisa memendek
sampai 40% dan mengakibatkan otot tersebut menjadi alot dan kehilangan banyak
cairan pada saat dimasak (lihat modul V). Pada saat prarigor, otot masih
dibenarkan untuk dikonsumsi sekalipun tingkat keempukannya tidak sebaik jika
dikonsumsi pada fase pascarigor. Ini dimungkinkan karena adanya enzim Ca+2
dependence protease (CaDP) atau calpain yang berperan sebagai enzim yang aktif
bekerja mencerna protein jika ada ion Ca+2 Ion ini diperoleh pada
saat reticulum sarkoplasmik dipompa pascakontraksi otot.
·
pH akhir otot menjadi asam akan terjadi setelah rigor mortis
terbentuk secara sempurna. Tapi kebanyakan yang terjadi adalah rigor mortis
sudah terbentuk tetapi pH otot masih diatas pH akhior yang normal (pH>5.5 –
5.8). pH akhir otot yang tinggi pada saat rigor mortis terbentuk memberikan
sifat fungsional yang baik pada otot yang dibutuhkan dalam pengolahan daging
(bakso, sosis, nugget). Demikian pula pada saat prarigor, dimana otot masih
berkontraksi sangat baik digunakan dalam pengolahan.
·
Denaturasi protein miofibriler dapat terjadi pada pH otot dibawah
titik isoelektrik mengakibatkan otot menjadi pucat, berair dan strukturnya
longgar (mudah terurai). Hal ini bisa terjadi pada ternak babi atau ayam yang
mengalami stress sangat berat menjelang disembelih dan akibatnya proses rigor
mortis berlangsung sangat cepat; bisa beberapa menit pada ternak babi.
·
Warna daging menjadi merah cerah pada saat pH mencapai pH akhir
normal (5.5 – 5.8) pada saat terbentuknya rigor mortis.
Faktor-faktor penyebab variasi waktu terbentuknya rigor
mortis
Jangka
waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bervariasi dan tergantung
pada:
1. Spesis; pada ternak babi waktu yang
dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis lebih singkat, beberapa jam malahan
bisa beberapa menmeit pada kasus PSE (pale soft exudative) dibanding dengan
pada sapi yang membutuhkan waktu 24 jam pada kondisi rigor mortis sempurna.
Dikatakan sempurna jika rigor mortis terjadi selama 24 jam pada ternak dengan
kondisi cukup istirahat dan full glikogen sebelum disembelih dan suhu ruangan
sekitar 15°C.
2. Individu; terdapat perbedaan waktu
terbentuk rigor mortis pada individu berbeda dari jenis ternak yang sama. Sapi
yang mengalami stress atau tidak cukup istirahat sebelum disembelih akan
memebutuhkan waktu yang lebih cepat untuk instalasi rigor mortis dibanding
dengan sapi yang cukup istirahat dan tidak stress pada saat menjelang
disembelih.
3. Macam serat; ada dua macam serat
berdasarkan warena yang menyusun otot yakni serat merah dan serat putih. Rigor
mortis terbentuk lebih cepat pada ternak yang tersusun oleh serat putih yang
lebih banyak dibanding dengan serat merah. Pada otot dengan serat merah yang
lebih banyak memperlihatkan pH awal lebih tinggi dengan aktivitas ATP ase yang
lebih rendah. Aktivitas ATP ase yang lemah akan membutuhkan waktu yang lebih
lama untuk menghabiskan ATP. Dengan demikian pada otot merah membutuhkan waktu
yang lebih lama untuk terbentuknya rigor mortis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar