Kontribusi
Jaringan Ikat
Kontribusi jaringan
ikat pada kekerasan daging juga sangat penting seperti pada jaringan muskuler.
Kandungan, kualitas dan penyebaran jaringan ikat dalam otot merupakan
penanggungjawab utama terhadap perbedaan kekerasan antar otot. Beberapa
peneliti menemukan korelasi antara daya putus dengan kandungan kolagen pada
otot Longissimus dorsi dan Semitendinosus yang cukup rendah. Kandungan kolagen
daging sapi bervariasi, tergantung pada jenis otot dan umur ternak, variasi ini
sangat besar pada otot empuk dan ternak umur muda yang mana 48-66% dapat
menjelaskan variasi keempukan daging (Abustam, 2004).Otot merupakan jaringan
yang mempunyai struktur dan fungsi utama sebagai penggerak. Ciri suatu otot mempunyai
hubungan yang erat dengan fungsinya. Karena fungsinya, maka jumlah jaringan
ikat berbeda-beda dintara jaringan otot. Jaringan ikat ini berhubungan dengan
kealotan daging (Soeparno, 2005).
Pada kekerasan
daging juga sangat penting seperti pada jaringan muskuler. Kandungan, kualitas
dan penyebaran jaringan ikat dalam otot merupakan penanggungjawab utama
terhadap perbedaan kekerasan antar otot. Beberapa peneliti menemukan korelasi
antara daya putus dengan kandungan kolagen pada otot Longissimus dorsi dan
Semitendinosus yang cukup rendah. Kandungan kolagen daging sapi bervariasi,
tergantung pada jenis otot dan umur ternak, variasi ini sangat besar pada otot
empuk dan ternak umur muda yang mana 48-66% dapat menjelaskan variasi keempukan
daging (Abustam, 2004).Otot merupakan jaringan yang mempunyai struktur dan
fungsi utama sebagai penggerak. Ciri
suatu otot mempunyai hubungan yang erat dengan fungsinya. Karena fungsinya,
maka jumlah jaringan ikat berbeda-beda dintara jaringan otot. Jaringan ikat ini
berhubungan dengan kealotan daging (Soeparno, 2005).
Pengaruh Umur Terhadap Keempukan
Dapat disimpulkan secara umum, bahwa keempukan
menurun dengan bertambahnya umur . Namun demikian perbaikan pakan (pemberian
pakan enersi tinggi) pada ternak sapi perah afkir sebelum penyembelihan untuk
memperbaiki kondisinya berdampak terhadap perbaikan keempukan, lebih empuk dari
sapi yang berumur muda dengan kondisi puberitas. Perbaikan kualitas kolagen
melalui terbentuknya kolagen baru (neo kolagen) yang ditandai dengan sifat
kolagen tersebut kembali seperti pada kolagen anak sapi (sapi muda) yakni
ikatan silang yang labil terhadap panas, dapat menjelaskan fenomena tersebut.
Struktur otot
Struktur otot terdiri atas serat muskuler dan jaringan ikat,
dimana variabilitas tipe serat yangterjadi pada ternak yang sama dari jenis
otot yang berbeda atau pada otot yang sama dari jenisternak yang berbeda
khususnya pada spesies yang berbeda pada umumnya disebabkan olehkedua komponen penyusun otot tersebut.Variasi
kualitas, khususnya keempukan pada otot pascamati ternak sangat ditentukan olehkedua komponen utama penyusun otot : konsistensi
jaringan muskuler dan sifat-sifat fisik dankimia jaringan ikat.
Abustam (2004), bahwa
keempukan daging ditentukan oleh sifat-sifat myofibril dan jaringan ikat
sebagai komponen utama pada otot. Keempukan daging bervariasi antar otot.
Jumlah jaringan ikat dalam otot mempengaruhi tekstur daging. Otot yang lebih
banyak bergerak selama hewan masih hidup teksturnya terlihat lebih kasar
sedangkan otot yang kurang bergerak teksturnya terlihat lebih halus. Hal ini
disebabkan adanya perbedaan dalam jaringan ikat yang ikut berperan dalam
aktivitas otot. Otot yang teksturnya kasar, kurang empuk dibandingkan dengan
otot yang teksturnya halus. Jaringan ikat otot terdiri dari epimisium yang terdapat di
sekeliling otot; perimisium terletak diantara fasikuli, dan endomisium yang
terdapat disekeliling sel otot atau serabut otot. Setiap jaringan ikat terdiri
dari serabut-serabut kolagen. Endomisium mengelilingi membran sel (sarkolema).
Serabut-serabut kolagen endomisium sangat kecil dan sering disebut serabut
retikular (Soeparno, 2005). Lebih lanjut dikatakan oleh Lawrie (2003) sifat
tenunan pengikat berbeda pada tiap umur ternak. Derajat ikatan silang intra dan
intramuskuler antara rantai-rantai polipeptida dalam kolagen meningkat dengan
meningkatnya umur hewan. Pada hewan-hewan muda hampir semua ikatan silang
(dapat direduksi , labil terhadap panas dan asam), meningkat sampai umur dua
tahun, kemudian secara perlahan diganti oleh ikatan-ikatan yang stabil terhadap
panas. Ciri suatu otot mempunyai hubungan yang erat dengan fungsinya. Karena
fungsinya, maka jumlah jaringan ikat berbeda-beda diantara jaringan otot.
Jaringan ikat ini berhubungan dengan kealotan daging. Perbedaan keempukan
berdasarkan daya putus daging dari 3 jenis otot yang berbeda
Jenis otot yang berbeda
juga memperlihatkan tingkat keempukan yang berbeda. Hal ini dilihat dari jenis
otot yang empuk berturut-turut seperti longissimus dorsi, semitendinosus dan
pectoralis profundus. Adanya perbedaan keempukan disebabkan karena kadar
kolagen yang berbeda. Banyaknya kolagen dari ternak disebabkan oleh umur yang
tua, jaringan ikat silang yang banyak dan banyaknya pergerakan otot sewaktu ternak
masih hidup. Hal ini sesuai dengan pendapat Lawrie (2003) yang menyatakan bahwa
serabut kolagen merupakan komponene yang terpenting dan menentukan empuk
tidaknya daging. Bila seekor ternak menjadi lebih tua, kolagennya bertambah
banyak dan jaringan ikat yang bersilang lebih banyak, sehingga daging menjadi
tidak empuk. Hal ini juga dikatakan oleh Winarno (1995) yang menyatakan bahwa
yang mempengaruhi keempukan daging, antara lain komposisi daging yaitu berupa
tenunan pengikat, serabut daging serta sel-sel lemak yang ada diantara serabut
daging. Disamping itu keempukan daging dipengaruhi oleh kondisi rigormortis
yang terjadi setelah ternak dipotong.
Lokasi otot juga sangat
berpengaruh pada keempukan daging. Kemungkinan lain yang menyebabkan otot
longissimus dorsi lebih empuk daripada semitendinosus dan pectoralis profundus
karena pada otot longissimus dorsi berada pada bagian tulang belakang sehingga
kemungkinan untuk melakukan aktivitas jarang, tidak sama dengan otot
semitendinosus atau otot pectoralis profundus yang hampir setiap saat mengalami
aktivitas karena menahan berat badannya pada waktu berdiri dan berjalan,
sehingga dengan seringnya otot melakukan aktivitas dapat menyebabkan jaringan
ikat pada otot menebal dan menjadi lebih keras. Penyebaran kolagen tidak sama
diantara otot kerangka tubuh, umumnya disesuaikan dengan kegiatan fisik
sehingga berpengaruh terhadap keempukan daging. Keempukan dan kekerasan daging
tergantung pada derajat kontraksi aktin dan miosin setelah hewan mati selama
rigormortis akibat terbentuknya aktimiosin (Lawrie, 2003).
Kandungan Kolagen
Kandungan kolagen dengan indeks kekerasan daging
yang diukur menggunakan Warner Bratzler shear force.. Kopp dan Bonnet (1982)
memperlihatkan koefisien korelasi antara daya putus dengan kandungan kolagen
pada daging mentah yang telah mengalami maturasi sebesar + 0,87. Beberapa
peneliti menemukan korelasi antara daya putus dengan kandungan kolagen pada
otot Longissimus dorsi danSemitendinosus yang cukup rendah (Reagan dkk., 1976 ;
Jeremiah dan Martin, 1981). Sorensen (1981) mengemukakan bahwa kandungan dan
solubilitas kolagen hanya dapat menjelaskan variasi keempukan sebesar 15 - 20 %
pada otot Longissimus dorsi dan Semitendinosus dari ternak dengan genotipe dan
umur yang sama. Abustam (1987) memperlihatkan bahwa kandungan kolagen daging
sapi bervariasi, tergantung pada jenis otot dan umur ternak, variasi ini sangat
besar pada otot empuk dan ternak umur muda yang mana 48 - 66 % dapat
menjelaskan variasi keempukan daging. Semakin tinggi kadar kolagen, semakin
rendah suhu awal kontraksi dan semakin penting tegangan maksimal (maximal
tension) selama pemanasan daging. Menurut Dransfield (1977) bahwa kadar kolagen
nampaknya merupakan penduga yang baik bagi kekerasan daging mentah jika
perbandingan dilakukan pada otot-otot yang berbeda dari umur yang sama.
Sebaliknya pengukuran kadar kolagen nampaknya kurang sensitif jika perbandingan
dilakukan pada otot yang sama yang berasal dari ternak yang berbeda. Kadar
kolagen bukanlah faktor tersendiri dalam menjelaskan variasi kekerasan jaringan
ikat.
Hubungan antara sifat-sifat jaringan ikat dengan kekerasan
daging
Kontribusi jaringan ikat pada kekerasan daging juga sangat
penting seperti pada jaringan muskuler. Kandungan, kualitas dan penyebaran
jaringan ikat dalam otot merupakan penanggung jawab utama terhadap perbedaan
kekerasan antar otot (Boccard dkk., 1967).
Jaringan ikat
Variasi indeks rata-rata kekerasan otot dapat dijelaskan
melalui karakter otot yang berhubungan dengan bentuk otot, karakter dimensional
dan morphologie kelompok berkas serat utama dari perimisum, dan
perbedaan-perbedaan karakter mikroskopik seperti repartisi dan penyebaran
jaringan ikat serta jumlah saluran darah ke otot. Barbu (1977) menunjukkan
bahwa indeks kekerasan otot berhubungan dengan karakteristik berkas jaringan
ikat, densitas rata-rata miosken (kelompok berkas serat utama) yang dilakukan
pada dua sumbu utama pada otot (lebar dan tebal), dan karakteristik perimisium.
Densitas linier dari berkas perimisium berpengaruh secara langsung pada
keempukan daging (Dumont, 1983 ; Abustam, 1984). Beberapa karakter
morpho-anatomik dari berkas perimisium dapat dipertimbangkan seperti, jumlah
berkas serat utama dengan ukuran kecil, homogenitas, dan kehalusan (tipis) dari
berkas perimisium kedua, dalam menilai variasi kadar kolagen dan kekerasannya
(Abustam, 1984). Densitas linier dari berkas perimisium dan jumlah berkas serat
utama bervariasi tergantung pada jenis otot. Terjadi penurunan densitas linier
dengan meningkatnya umur ternak yang dapat dijelaskan melalui peningkatan luas
permukaan rata-rata dari berkas serat utama. Densitas linier berkas perimisium
hanya dapat menjelaskan sebesar 29 % dari variasi resistensi mekanik daging
mentah. Dengan menggabungkan antara densitas linier dan kadar kolagen, keduanya
dapat menjelaskan 55 % variasi kekerasan daging (Abustam, 1987).
Kondisi
pemasakan Suhu dan lama
pemasakan memegang peranan penting pada perubahan komponen jaringan ikat pada
daging. Otot dengan potensi keempukan yang tinggi memerlukan suhu pemasakan dan
waktu pemasakan yang cepat. Sebaliknya pada otot yang dalam keadaan mentah
memperlihatkan kekerasan yang berarti memerlukn waktu pemasakan yang cukup
lama. Berdasarkan atas sifat kolagen yang membutuhkan suhu untuk mengalami
gelatinisasi pada suhu 80°C, perlu menjadi pertimbangan penerapannya, dengan
waktu pemasakan yang cukup lama, minimal diatas satu jam. Pemasakan yang
melampaui batas optimal pada daging empuk akan menyebabkan terjadinya
pengerasan, pemasakan berlanjut setelah batas optimal tersebut akan
mengakibatkan pengempukan yang diharapkan. Dengan demikian padanan antara suhu
dan lama pemasakan yang digunakan harus disesuaikan dengan potensi keempukan
dari otot tersebut. Berdasarkan metode pemasakan ini maka dikenal pemasakan
lambat dan pemasakan cepat.